Tak PenTing taPi bErniLai

Tak PenTing taPi bErniLai
TerbiaSa mendokuMentasikan suaTu peRistiWa walau taK beGitu pEntiing taPi bernilai :D

BiO ChErrY

Foto saya
I always give my beautiful smile to all.. n_n

Sabtu, 12 Mei 2012

Bebek Masa Depan

Kemana aku pergi, semua orang selalu bertanya tentang Ela. "Dimana Ela? Kenapa kalian tidak bersama? Kalian sedang bertengkar ya! Pasti kamu yang memulai pertengkaran itu! Kamu pasti iri dengan Ela!" celoteh itu yang terdengar saat ku berjalan menuju sekolah. Dua minggu lalu, Ela pergi ke Jakarta. Dia terpilih menjadi perwakilan sekolah untuk mengikuti olimpiade Matematika. Sejak itu aku berjalan sendiri menuju sekolah dan sejak itu pula tetanggaku bertanya tentang Ela.
Seorang Ela yang cantik, pintar, ramah, tutur katanya yang lembut pasti membuat orang-orang mengagumi dan merinduinya. Ela dan aku sangat berbeda. Bagai batu dan emas.
"Tapi, aku beruntung. Dua minggu ini, aku bebas di rumah. Tanpa ada gangguan dan bandingan dari Mama dan Papa. Kalau ada dia, pasti aku selalu dibanding-bandingkan. Hore. Aku bebas. Aku bebas. Sik asik". Tawaku dalam hati.
"Esa. Esa. Bangun sa". Teriak Mama.
"Iya ma. Esa uda bangun kok. Selamat pagi Mama. Selamat pagi Papa. Pagi yang indah ya ma. Tanpa ada Ela di rumah ini. Upz.. Keceplosan".
"Esa. Kamu gak boleh ngomong gitu. Ela kan cuma pergi sebentar. Seharusnya kamu berusaha juga supaya kamu bisa seperti kakakmu".
"Enggak ah. Esa gak suka Matematika. Esa tu lebih suka dengan sastra, tulis puisi gitu ma".
"Alah, gaya kamu suka sastra. Tapi karya kamu gak pernah tembus di media". Ledek Papa.
"Yah papa. Gak sembarang karya juga pa bisa tembus media".
"Tapi belum pernah kan sayang".


"Hmmp. Esa mandi dulu ah. Malas dibandingin mulu".
***
Olimpiade telah berakhir, Ela kembali ke rumah dengan membawa sebuah piala yang bertuliskan "Juara I Olimpiade Matematika Nasional". Papa dan Mama mengucapkan selamat kepada Ela.
"Selamat ya sayang. Lihat tu kakakmu sa, dia bisa mengalahkan seluruh siswa di Indonesia." Ledek Mama.
"Hmmp". Pergi meninggalkan mereka.
"Mulai lagi Mama dan Papa bandingin aku dengan si Ela kunyuk itu. Kayak gitu aja dibanggain, ieuhc." Tulisku di sebuah Diary.
Diary ini yang selalu membantuku untuk menenangkan diri ini dari kekecewaan. Diary ini pula yang menerima bantahanku dan amarahku. Aku juga selalu menulis puisi-puisi sebagai pelampiasan kekecewaan. Tulis menulis adalah salah satu hobiku. Aku selalu mengirim karyaku ke media. Walau karyaku tak pernah diterbitkan. Tapi aku tak akan putus asa. Aku selalu berusaha untuk menunjukkan semuanya kepada Mama dan Papa kalau aku juga bisa.
***
Emangnya karya kamu pernah tembus ke media? Seharusnya kamu berusaha juga supaya kamu bisa seperti kakakmu. Papa dan Mama benar, kenapa untuk tembus ke media aja aku susah. Kenapa si Ela bisa. Sentakan kayu itu membuyarkan semua lamunanku.
"ee..saa. Maju ke depan. Kerjakan soal itu".
"ii..ya buk".
"Bagaimana ini? Aku sangat benci dengan pelajaran ini. Angka-angka menakutkan ini mengelilingi otakku 50 2 7 5 : = x 107.077. Aduh". Pikirku.
"Maaf buk. Bolehkah saya membantu Esa mengerjakan soal itu. Mungkin Esa lupa dengan rumusnya buk". Pinta Ela.
"Baik. Esa, silahkan duduk. Lain kali jangan melamun". Kata bu guru.
"iya buk". Jawabku.
"Ieh. Sok pintar kali si Ela. Cari muka. Dia pikir dengan cara itu, dia bisa dekat denganku". Keluhku.
Lonceng berbunyi. Siswa-siswa berhamburan keluar. Termasuk aku dan Ela. Kami memang selalu pulang bersama. Tapi aku tak akan mau berbicara dengannya kalau bukan dia yang memulainya.
"Esa. Maaf ya. Aku bukan bermaksud untuk cari muka. Aku cuma ingin bantu Esa". Kata Ela dengan rasa bersalah.
"Hmmf". Singkatku.
"Sa. Mau es krim gak? Ela yang traktir deh. Mau ya. Tunggu ya!"
"Ni. Esa suka rasa Strawberry kan".
"Aku gak butuh sogokan kamu (membuang es krim itu). Aku tau kamu orang pintar, dikagumi oleh banyak orang. Tapi kenapa kamu permaluin aku di depan teman-teman. Kamu belum puas dengan prestasi yang kamu raih sampai kamu kayak gituin aku. Tega kamu ya la lakuin itu. Aku uda sering dibandingin sama Mama dan Papa. Aku tetap sabar. Karena mereka keluarga kita. Tapi kesabaran orang ada batasnya La. Aku malu EELA. Apa kamu merasakan apa yang kurasa? Kamu jahat La. Dasar pencari MUKA!". Pergi meninggalkannya dengan wajah yang memerah.
***

"Esa, di mana Ela? Kamu tidak pulang dengannya"?
"Kenapa mama bertanya tentang Ela dan Ela selalu? Apa mama lupa anak mama ada dua, Ela dan Esa. Oh iya, Esa lupa. Ela kan anak kesayangan mama". Pergi meninggalkan mama.
"Esaa". Teriak mama.
Tiba-tiba bahu mama disentuh oleh seorang lelaki separuh baya.
"Maaf bu. Apa benar ini rumahnya Ela Silvina Bachri"?
"Benar pak. Ada apa ya pak"?
"Anak ibu kecelakaan dan telah dibawa ke rumah sakit. Ini alamatnya buk". Menyerahkan selembar kertas.
***
Lima jam telah berlalu, namun Ela tak kunjung bangun dari pingsannya.
Kecelakaan siang tadi, membuat kepala Ela terbentur batu. Sembilan menit setelah lima jam. Akhirnya Ela sadar. Namun, dia selalu menyebut namaku. Saat itu aku tak datang melihatnya. Aku masih marah dengannya. Namun perasaanku bercampur aduk antara kecewa karena telah marah dengan Ela dan sedih mendengar keadaannya yang tetap memanggilku. Apa mungkin Ela hanya membantuku tanpa ingin mendapat pujian. Tapi tidak! Ela salah, dia telah mempermalukan aku di depan teman-teman. Tapi karena aku marah dengannya, dia jadi kecelakaan. Aduh. Semuanya pasti salahku. Maafkan aku Ela.
Akhirnya aku pun pergi ke rumah sakit. Aku ragu ingin masuk ke ruangan di mana Ela dirawat. Tapi aku harus minta maaf dengannya. Aku harus minta maaf.
“Selamat malam semua.” Sapaku.
“Akhirnya kamu datang juga. Dari tadi Ela memanggil namamu.” Kata Mama.
“M..Maafin Aku ya La. Aku uda berfikir buruk tentangmu.” Peluk Esa.
“Iya. Maafin Ela juga ya.”
***
“Selamat ulang tahun. Selamat ulang tahun. Selamat hari ulang tahun. Selamat ulang tahun.” Teriak dari ruang kamar Esa.
Tepat pukul 00.00 keluargaku berkumpul di kamarku. Ada Mama, Papa, Kak Ela dan Black Forest di tangannya. Mereka menyayikan lagu itu berulang kali. Aku sangat terkejut. Aku terbangun dari tidur dan memeluk mereka.
“Tiup lilinnya, potong kuenya, makan kuenya.” Teriak mereka
“Terima kasih ya Ma, Pa, Kakakku.” Ucapku.
“Sama-sama sayang.”
“Ni kado dari kakak. Buka dong.”
“Apa ni kak.” Tanyaku.
“Buka aja dech.”
“Wah. Celengan bebek warna kuning. Makasih ya kakakku.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar