Tak PenTing taPi bErniLai

Tak PenTing taPi bErniLai
TerbiaSa mendokuMentasikan suaTu peRistiWa walau taK beGitu pEntiing taPi bernilai :D

BiO ChErrY

Foto saya
I always give my beautiful smile to all.. n_n

Jumat, 19 Oktober 2012

MIRA



Oleh: Suryani Hanum Sidabutar
            Beranjak dari kegelisahan yang sudah menjelma sekuat raksasa, aku mendayung jiwa ketempat dingin. Terpatung. Terlintas difikiranku untuk melakukan hal itu. Sekejap aku menangkisnya. Aku kasihan melihat mereka yang menyayangiku. Terpatung. Kembali hal itu terlintas. Aku menjerit. “Aku tidak bisa! Aku tidak bisa! Apa yang harus aku perbuat? Semua orang pasti akan membenciku kalau mereka tahu aku...” Tak sengaja air mataku jatuh. Tangisan pertama yang pernah ada.
            Petang itu langit mulai gelap, petir seruh menderuh. Hujan pun turun membasahi tubuhku. Aku tetap terpatung. Tak beranjak dari dudukku. Menangis, menggigil, wajah pucat, bibir biru. Hal itu tetap saja menghantui fikiranku. Tiba-tiba dari belakang tampak seorang pria tinggi, hitam pekat menyentuh pundakku dan berkata:
“Mengapa kau disini? Hujan semakin deras. Beranjaklah dari sini dan ikutlah denganku.”
Dengan cepat aku berdiri bak orang yang terkena hipnotis. Aku berjalan disampingnya dengan tubuh yang tetap kedinginan.
            Lima belas menit sudah kami berjalan. Terhentilah kami di sebuah kafe. Dia memesan dua cangkir teh panas.
“Apa yang kau lakukan di sana?” tanyanya.
 Aku terdiam.
“Ya sudahlah. Tenangkanlah dulu fikiranmu kalau kau tak mau cerita sekarang. Minumlah teh itu, nanti keburu dingin.”
Aku tetap saja tak menghiraukannya. Aku masih terhanyut dalam lamunanku.
“Hey. Kau dengar tidak.”
Tepukan meja itu membuatku tersentak dari lamunanku. Kali kedua air mataku jatuh.
“Kalau kau tak mau bercerita tak apa, tapi hargailah aku bicara jangan hanya diam saja. Apa yang kau fikirkan? Sepertinya ada hal yang kau tutup-tutupi dariku?”
Dia sangat marah. Tapi aku tidak bisa menceritakan hal ini, aku takut kakak akan semakin marah dan sedih dengan hal ini, pikirku.
“Mira tidak memikirkan apa-apa kak.”
“Tidak mungkin. Pastilah ada hal yang membuat kau diam seperti ini. Sudah seminggu aku melihat kau hanya diam menyendiri. Dan baru hari ini juga aku melihat kau menangis. Apa yang kau sembunyikan? Ceritalah kepadaku?”
Aku tetap saja membisu.
“Hufft. Capek aku berbicara tapi tak kau hiraukan”. Dengan raut wajah yang cemberut dan membalikkan badan.
“Kenapa kakak berada di taman itu?” Tanyaku.
Dia diam. Sepertinya dia balas dendam padaku.
“Mira bicara kakak malah diam. Kakak yang aneh.” Ledekku sambil tersenyum kecil.
“Begitu lha. Tersenyum lagi, kan tampak manis walaupun nyatanya tidak. Haha.”
“Hmmp. Kakak mengerjaiku ya.”
Seperti itulah kakakku yang selalu membuat aku tersenyum. Tapi saat ini hanya senyuman terpaksa yang bisa ku keluarkan.
“Hmmp. Kau melamun lagi. Aku berada di taman, ibu menyuruhku mencarimu karena kau tak pulang sejak siang tadi. Aku melihat kau duduk di sana dan menghampirimu. Cepatlah minum teh itu. Lalu kita pulang, ibu sangat khawatir kepadamu.”
“Iya kak”.
Kami pun pulang ke gubuk yang tak seberapa itu. Tetap saja hal itu kusembunyikan.
Ibu berdiri di depan pintu. Sepertinya sudah menungguku sejak tadi.
“Darimana saja ra? Ibu khawatir sekali. Ayo masuk. Mandi dan temui ibu nanti di ruang tamu. Ada yang mau ibu bicarakan kepadamu.” Katanya.
“Iya bu.” Jawabku singkat.
            Seandainya ibu mengetahui hal ini, dia pasti akan sangat marah. Maafkan Mira bu, Mira tak akan mengatakan hal ini. Mira takut ibu akan sedih dan marah dengan semua yang telah mira perbuat. Kali ketiga air mata ini jatuh. Aku tak sanggup selalu berbohong dan aku juga tak sanggup mengatakan yang sebenarnya. Ya tuhan bagaimana ini? Kegelisahan ini terus mengepungku. Ini kali aku harus mengatakannya walau ini sangat menyakitkan.
            Ponselku berbunyi, layar ponsel itu tertulis satu pesan diterima. Pesan dari panji. Aku membacanya. Debar-mendebar jantung ini. Darah terasa terhenti. Timbul niat dalam kalbuku tidak jadi mengatakannya. Ambil tas pergi menemuinya.
            Sampai di rumah kos panji. “Aku telah berniat untuk mengatakan kehinaanku pada ibu hari ini. Tapi kenapa kau menyuruhku untuk melakukannya lagi. Aku sudah capek dengan semua kebohongan ini. Kegelisahan yang selalu menyelimuti. Mengertilah panji!”
“Tenang Mira. Kalau kau mengatakannya pada ibumu kasihan dia. Dia akan sangat sedih. Lebih baik kau tidak mengatakannya. Kau lanjutkan saja, inilah hidupmu. Tidak usah pikirkan yang tak perlu difikirkan. Aku kasihan denganmu terlalu memikirkan hal ini. Ayolah santai. Nanti malam kau dapat job dengan seorang pengusaha kaya raya. Jadi kau tidak perlu sedih memikirkan semua perbuatan dan kebutuhan keluargamu. Bagaimana kau terima tidak pekerjaan ini? Aku harap kau menerimanya”
            Bingung. Di satu sisi aku sangat butuh pekerjaan ini. Tetapi di sisi lain aku tersiksa dengan kebohonganku. Aku mengatakan pada ibu, aku bekerja di sebuah perusahaan ternama di Jakarta. Tapi nyatanya aku hanya seorang wanita murahan, hina dan liar. Hal gila dan benar-benar gila. Lama aku berfikir. Akhirnya aku memutuskan dan berkata:
“Ya. Aku menerimanya. Seperti yang kau katakan inilah hidupku.”
“Wah. Hebat aku suka Mira yang ini. Oke kau harus istirahat agar malam ini kau maksimal. Sampai bertemu di waktu gelap. Haha. Jawabnya.”

Kamis, 27 September 2012

Tampilan Baru


Kata itu yang tetapku dengar sampai detik ini. Kayak bukan kaulah! Kukira tadi bukan kau! Jadi aku siapa kalau bukan diriku sendiri. Yah, sangat pantas mereka berkata, berkomentar dan mengkritik seperti itu. Seorang yang dikenal jadul, tak feminim, butuh kaca mata untuk melihat, kini bertampilan beda, menggunakan busana berbeda, mata tak lagi dipasang oleh kaca bermin namun kontak lensa yang menjadi bantuan penglihatan. Tampilan baru. Ingin terlihat cantik di hadapan siapapun, ITU HAL YANG WAJAR! DAN TAK PERLU DIPERTANYAKAN.

Sabtu, 12 Mei 2012

Bebek Masa Depan

Kemana aku pergi, semua orang selalu bertanya tentang Ela. "Dimana Ela? Kenapa kalian tidak bersama? Kalian sedang bertengkar ya! Pasti kamu yang memulai pertengkaran itu! Kamu pasti iri dengan Ela!" celoteh itu yang terdengar saat ku berjalan menuju sekolah. Dua minggu lalu, Ela pergi ke Jakarta. Dia terpilih menjadi perwakilan sekolah untuk mengikuti olimpiade Matematika. Sejak itu aku berjalan sendiri menuju sekolah dan sejak itu pula tetanggaku bertanya tentang Ela.
Seorang Ela yang cantik, pintar, ramah, tutur katanya yang lembut pasti membuat orang-orang mengagumi dan merinduinya. Ela dan aku sangat berbeda. Bagai batu dan emas.
"Tapi, aku beruntung. Dua minggu ini, aku bebas di rumah. Tanpa ada gangguan dan bandingan dari Mama dan Papa. Kalau ada dia, pasti aku selalu dibanding-bandingkan. Hore. Aku bebas. Aku bebas. Sik asik". Tawaku dalam hati.
"Esa. Esa. Bangun sa". Teriak Mama.
"Iya ma. Esa uda bangun kok. Selamat pagi Mama. Selamat pagi Papa. Pagi yang indah ya ma. Tanpa ada Ela di rumah ini. Upz.. Keceplosan".
"Esa. Kamu gak boleh ngomong gitu. Ela kan cuma pergi sebentar. Seharusnya kamu berusaha juga supaya kamu bisa seperti kakakmu".
"Enggak ah. Esa gak suka Matematika. Esa tu lebih suka dengan sastra, tulis puisi gitu ma".
"Alah, gaya kamu suka sastra. Tapi karya kamu gak pernah tembus di media". Ledek Papa.
"Yah papa. Gak sembarang karya juga pa bisa tembus media".
"Tapi belum pernah kan sayang".


"Hmmp. Esa mandi dulu ah. Malas dibandingin mulu".
***
Olimpiade telah berakhir, Ela kembali ke rumah dengan membawa sebuah piala yang bertuliskan "Juara I Olimpiade Matematika Nasional". Papa dan Mama mengucapkan selamat kepada Ela.
"Selamat ya sayang. Lihat tu kakakmu sa, dia bisa mengalahkan seluruh siswa di Indonesia." Ledek Mama.
"Hmmp". Pergi meninggalkan mereka.
"Mulai lagi Mama dan Papa bandingin aku dengan si Ela kunyuk itu. Kayak gitu aja dibanggain, ieuhc." Tulisku di sebuah Diary.
Diary ini yang selalu membantuku untuk menenangkan diri ini dari kekecewaan. Diary ini pula yang menerima bantahanku dan amarahku. Aku juga selalu menulis puisi-puisi sebagai pelampiasan kekecewaan. Tulis menulis adalah salah satu hobiku. Aku selalu mengirim karyaku ke media. Walau karyaku tak pernah diterbitkan. Tapi aku tak akan putus asa. Aku selalu berusaha untuk menunjukkan semuanya kepada Mama dan Papa kalau aku juga bisa.
***
Emangnya karya kamu pernah tembus ke media? Seharusnya kamu berusaha juga supaya kamu bisa seperti kakakmu. Papa dan Mama benar, kenapa untuk tembus ke media aja aku susah. Kenapa si Ela bisa. Sentakan kayu itu membuyarkan semua lamunanku.
"ee..saa. Maju ke depan. Kerjakan soal itu".
"ii..ya buk".
"Bagaimana ini? Aku sangat benci dengan pelajaran ini. Angka-angka menakutkan ini mengelilingi otakku 50 2 7 5 : = x 107.077. Aduh". Pikirku.
"Maaf buk. Bolehkah saya membantu Esa mengerjakan soal itu. Mungkin Esa lupa dengan rumusnya buk". Pinta Ela.
"Baik. Esa, silahkan duduk. Lain kali jangan melamun". Kata bu guru.
"iya buk". Jawabku.
"Ieh. Sok pintar kali si Ela. Cari muka. Dia pikir dengan cara itu, dia bisa dekat denganku". Keluhku.
Lonceng berbunyi. Siswa-siswa berhamburan keluar. Termasuk aku dan Ela. Kami memang selalu pulang bersama. Tapi aku tak akan mau berbicara dengannya kalau bukan dia yang memulainya.
"Esa. Maaf ya. Aku bukan bermaksud untuk cari muka. Aku cuma ingin bantu Esa". Kata Ela dengan rasa bersalah.
"Hmmf". Singkatku.
"Sa. Mau es krim gak? Ela yang traktir deh. Mau ya. Tunggu ya!"
"Ni. Esa suka rasa Strawberry kan".
"Aku gak butuh sogokan kamu (membuang es krim itu). Aku tau kamu orang pintar, dikagumi oleh banyak orang. Tapi kenapa kamu permaluin aku di depan teman-teman. Kamu belum puas dengan prestasi yang kamu raih sampai kamu kayak gituin aku. Tega kamu ya la lakuin itu. Aku uda sering dibandingin sama Mama dan Papa. Aku tetap sabar. Karena mereka keluarga kita. Tapi kesabaran orang ada batasnya La. Aku malu EELA. Apa kamu merasakan apa yang kurasa? Kamu jahat La. Dasar pencari MUKA!". Pergi meninggalkannya dengan wajah yang memerah.
***

"Esa, di mana Ela? Kamu tidak pulang dengannya"?
"Kenapa mama bertanya tentang Ela dan Ela selalu? Apa mama lupa anak mama ada dua, Ela dan Esa. Oh iya, Esa lupa. Ela kan anak kesayangan mama". Pergi meninggalkan mama.
"Esaa". Teriak mama.
Tiba-tiba bahu mama disentuh oleh seorang lelaki separuh baya.
"Maaf bu. Apa benar ini rumahnya Ela Silvina Bachri"?
"Benar pak. Ada apa ya pak"?
"Anak ibu kecelakaan dan telah dibawa ke rumah sakit. Ini alamatnya buk". Menyerahkan selembar kertas.
***
Lima jam telah berlalu, namun Ela tak kunjung bangun dari pingsannya.
Kecelakaan siang tadi, membuat kepala Ela terbentur batu. Sembilan menit setelah lima jam. Akhirnya Ela sadar. Namun, dia selalu menyebut namaku. Saat itu aku tak datang melihatnya. Aku masih marah dengannya. Namun perasaanku bercampur aduk antara kecewa karena telah marah dengan Ela dan sedih mendengar keadaannya yang tetap memanggilku. Apa mungkin Ela hanya membantuku tanpa ingin mendapat pujian. Tapi tidak! Ela salah, dia telah mempermalukan aku di depan teman-teman. Tapi karena aku marah dengannya, dia jadi kecelakaan. Aduh. Semuanya pasti salahku. Maafkan aku Ela.
Akhirnya aku pun pergi ke rumah sakit. Aku ragu ingin masuk ke ruangan di mana Ela dirawat. Tapi aku harus minta maaf dengannya. Aku harus minta maaf.
“Selamat malam semua.” Sapaku.
“Akhirnya kamu datang juga. Dari tadi Ela memanggil namamu.” Kata Mama.
“M..Maafin Aku ya La. Aku uda berfikir buruk tentangmu.” Peluk Esa.
“Iya. Maafin Ela juga ya.”
***
“Selamat ulang tahun. Selamat ulang tahun. Selamat hari ulang tahun. Selamat ulang tahun.” Teriak dari ruang kamar Esa.
Tepat pukul 00.00 keluargaku berkumpul di kamarku. Ada Mama, Papa, Kak Ela dan Black Forest di tangannya. Mereka menyayikan lagu itu berulang kali. Aku sangat terkejut. Aku terbangun dari tidur dan memeluk mereka.
“Tiup lilinnya, potong kuenya, makan kuenya.” Teriak mereka
“Terima kasih ya Ma, Pa, Kakakku.” Ucapku.
“Sama-sama sayang.”
“Ni kado dari kakak. Buka dong.”
“Apa ni kak.” Tanyaku.
“Buka aja dech.”
“Wah. Celengan bebek warna kuning. Makasih ya kakakku.”

Rabu, 09 Mei 2012

Analisis Puisi Chairil Anwar


PENERIMAAN

Jika kau mau, kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati

Aku masih tetap sendiri

Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi

Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani

Jika kau mau, kuterima kembali
Tapi untukku sendiri
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.

Maret 1943

ANALISIS PUISI
Chairil Anwar: Penerimaan

PUISI terlahir dari setiap makna yang tersembunyi dalam setiap kata-kata yang terangkai di dalamnya. Dalam memahami makna puisi tidaklah dengan tiba-tiba melainkan melalui proses yang panjang. Dalam melihat karya sastra, makna tersebut akan muncul ketika pembaca telah memberikan makna pada karya sastra itu. Puisi sebagai karya seni puitis, mengandung nilai keindahan yang khusus. Kepuitisan itu dapat dicapai dengan bermacam-macam cara, misalnya dengan bentuk visual: tipografi, susunan bait; dengan bunyi: persajakan, asonansi, aliterasi, kiasan bunyi, lambang rasa, dan orkestrasi; dengan pemilihan kata (diksi), bahasa kiasan, sarana retorika, unsur-unsur ketatabahasaan, gaya bahasa, dan sebagainya. Dalam mencapai kepuitisan itu penyair memepergunakan banyak cara sekaligus, secara bersamaan untuk mendapatkan jaringan efek puitis yang sebanyak-banyaknya (Altenbernd, 1970:4-5), yang lebih besar daripada pengaruh beberapa komponen secara terpisah penggunaannya. Antara unsur pernyataan (ekspresi), sarana kepuitisan, yang satu dengan lainnya saling membantu, saling memperkuat dengan kesejajarannya ataupun pertentangannya, semuanya itu untuk mendapatkan kepuitisan seefektif mungkin, seintensif mungkin.
      Di Indonesia setelah runtuhnya penjajahan Belanda tidak hanya terjadi revolusi politik yang menjelma dalam kemerdekaan Negara Indonesia, tetapi terjadi pula revolusi sastra, yang dilambangkan dan dirintis oleh Chairil Anwar. Beliau adalah seorang penyair terkemuka di Indonesia periode 1942-1949. Karya-karyanya sangat mewarnai khasanah kesusasteraan Indonesia dan mengilhami lahirnya sastrawan besar di Indonesia generasi berikutnya, hingga ia dinobatkan sebagai sastrawan pelopor angkatan 45 oleh HB Jasin. Sosok Chairil Anwar dapat dianalogikan sebagai seekor burung yang bebas, merdeka baik dalam berkarya maupun dalam keseharian. Beliau adalah sosok yang luar biasa, romantis namun memiliki semangat hidup yang menyala-nyala, sebentuk optimisme anak muda yang yakin sepenuhnya pada potensi dirinya sendiri. Beliau menciptakan puisi-puisi tentang kemerdekaan, maut yang selalu menggeluti pikirannya  maupun tentang cinta yang pedih.
      Namun penulis memilih untuk menganalisis sajak Chairil Anwar yang bertemakan percintaan. Hal itu karena penulis merasa tertarik dengan puisi bertemakan percintaan dan juga dikarenakan tidak banyaknya orang yang menganalisis puisinya tersebut. Sejauh ini, kebanyakan kritikus menganalisis puisinya mengenai kematian. Salah satu puisinya adalah “Penantian”.
      Pada prinsipnya seorang kritikus sajak memulai mengkritik dan mengungkap sajak dimulai dari mana saja. Namun sebuah sajak yang baik merupakan sebuah kebulatan dan kepaduan makna dimana unsur-unsurnya berkaitan satu dengan yang lainnya. Dalam hal ini penulis mulai dengan pilihan kata (diksi)  puisi ini. Kata-kata di dalam sajak adalah kata-kata yang sama sekali berbeda dengan teks dalam bentuk yang lain. Kata-kata dalam sajak memiliki peran sangat esensial karena ia tidak saja harus mampu menyampaikan gagasan, tetapi juga dituntut untuk mampu menggambarkan imaji sang penyair dan memberikan impresi ke dalam diri pembacanya, karena itu kata-kata dalam puisi lebih mengutamakan intuisi, imajinasi, dan sintesis. Pilihan kata yng digunakan seorang Chairil Anwar sangat indah, karena kata-kata yang digunakan menggunakan kata-kata yang mudah dipahami misalnya dalam sajak yang berjudul “Penerimaan”. Selain itu penyusunan kata-katanya sangat tepat dan pemilihan untuk pembentukan sebuah sajak memperhatikan kesesuaiaan kata yang digunakan serta penyusunan antar kata sangat indah.
      Untuk melihat keindahan dan kepuitisan puisi ini dapat dilihat dari bahasa kiasan yang digunakan penyair. Bahasa kiasan merupakan alat yang dipergunakan penyair untuk mencapai aspek kepuitisan atau sebuah kata yang mempunyai arti secara konotatif tidak secara sebenarnya. Dalam penulisan sebuah sajak bahasa kiasan ini digunakan untuk memperindah tampilan atau bentuk muka dari sebuah sajak. Bahasa kiasan dipergunakan untuk memperindah sajak-sajak yang ditulis seorang penyair. Bahasa kiasan yang tedapat dalam puisi “Penerimaan” karya Chairil Anwar berupa repitisi, simile atau persamaan dan personifikasi. Repetisi adalah pengulangan bunyi, suku kata, kata, atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Dalam sajak terdapat dalam:
Jika kau mau, ku terima kau kembali (Baris 1)
...
Jika kau mau, kuterima kembali (Baris 7)
...
Perulangan tersebut dapat dilihat dari penggalan larik puisi di atas. Selanjutnya simile atau persamaan adalah perbandingan yang bersifat eksplisit, yaitu langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal lain. Dalam sajak terdapat dalam:
..
Bak kembang sari sudah terbagi (Baris 5)
...
Personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda mati seolah-olah hidup. Hal itu terdapat dalam penggalan sajak di bawah ini:
...
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.
Dari penggalan sajak di atas sangat terlihat penghidupan benda mati yaitu cermin bisa berbagi dengan tokoh aku.
      Selanjutnya mengenai citraan pada puisi ini. Citraan adalah satuan ungkapan yang dapat menimbulkan hadirnya kesan keindrawian atau kesan mental tertentu. Unsur citraan dalam sebuah puisi merupakan unsur yang sangat penting dalam mengembangkan keutuhan puisi, sebab melaluinya kita menemukan atau dihadapkan pada sesuatu yang tampak konkret yang dapat membantu kita dalam menginterpretasikan dan menghayati sebuah puisi secara menyeluruh dan tuntas. Citraan dalam puisi terdapat 7 jenis citraan, yaitu citraan penglihatan, citraan pendengaran, citraan gerak, citraan perabaan, citraan penciuman, citraan pencecapan, dan citraan suhu. Penggunaan citraan dalam puisi melibatkan hampir semua anggota tubuh kita, baik alat indra maupun anggota tubuh, seperti kepala, tangan, dan kaki. Untuk dapat menemukan sumber citraan yang terdapat dalam puisi, pembaca harus memahami puisi dengan melibatkan alat indra dan anggota tubuh untuk dapat menemukan kata-kata yang berkaitan dengan citraan. Dalam sajak “Penerimaan” citraan yang digunakan misalnya yaitu citraan penglihatan tedapat dalam”aku msih tetap sendiri, sedangkan dengan cermin aku enggan berbagi. Cermin dapat dilihat dengan indera mata sehingga menggunakan citraan penglihatan.
      Setelah penulis memulai penganalisisan berdasarkan unsur-unsur puisi, selanjutnya akan dijelaskan makna puisi “Penerimaan” secara keseluruhan. Dalam sajak”Penerimaan” karya Chairil Anwar merupakan ungkapan perasaan yang dirasakan oleh penyair. Puisi itu dapat dianalisis sebagai berikut: si aku memberi harapan kepada seorang gadis, bila ingin kembali boleh saja. Si aku menerima sepenuh hati bila gadis itu mau kembali lagi pada kehidupannya. Si aku tidak mencari gadis lain sebagai pendamping hidupnya karena masih menunggu kepulangan kekasihnya. Si aku masih sendiri tidak akan mencari yang lain dan tetap menunggu walaupun sudah mengetahui bahwa gadis yang dicintainya sudah tidak perawan lagi atau sudah selingkuh dengan laki-laki lain. Itu digambarkan dengan kalimat ”Kutahu kau bukan yang dulu lagi bak kembang sari sudah terbagi”. Kalimat ini menggunakan metafora-metafora yang sangat indah dangan menggambarkan perempuan yang tidak perawan dengan kembang sari sudah terbagi. Si aku memberi harapan kepada gadis itu, bila ingin kembali tidak usah malu dan harus mau menemunya. Tidak usah takut untuk menemuinya. Si aku pun tetap menerima apapun yang sudah terjadi dan menerima dengan mutlak: jangan mendua lagi, bahkan bercermin pun si aku enggan berbagi. Digambarkan dalam bait ke-5 yan berbunyi “Sedangkan dengan cermin aku enggan berbagi”. Dalam kalimat ini menggunakan citraan penglihatan seperti yang telah dijelaskan di atas.

Selasa, 07 Februari 2012

B a Y a N g A n K u

Jgn seDih lg rya. . .

Hapus airmTa'a. . .

Biarkn rSa skit htimU hilng scra pRlahan-lahan..

Rasa skit tU pendam dlm htimu, tp jgn kau bwt mNjdi dEndam..

AtuR emOsimU jgn emOsimU yg mNgtUr drimu..

Tetap hiasi wjahmu dgn snYuman..

DEAR MY MOTHER

Surat uTk ibu

oleh Suryani Hanum Sidabutar pada 22 Desember 2010 pukul 19:42
Slmat hr ibu bwt ibu2 smw dslruh dunia truTama bwt ummiQ trcinta,.

Ummiq..
Kau sgala'a bgiku,
kau tlah mlahirkanq,mnyusuiq, & jg mMbesarknq..

Ummiq..
Aq sngat merinduknMu,
ingin rSa'a aq brda dDktmu saAt ini, mNgucpkan hri ibu sPrti smw org yg mNgucpkn hri ibu kpd ibu mrka.,

aq iri dgn mreka..
UmMiq

Wlw kau tak ad dsni, tak brSmaq saAt ini bhkn uTk slma'a, tp aq tTap cyng kpdmu uTk slma'a..

Aq akn slLu brdoa,
agr amal ibdhmu slma d dunia d terima oleh yg MAHA KUASA, dn d ampuni dosa2mu.
tU adlah hadiah yg mNgkin g' sbesar jasa2mu slma ini..

SmOga kau senang d syurga sana

I love U, umMiq.

Lemah Merintih Mati


oleh Suryani Hanum Sidabutar pada 3 Oktober 2011 pukul 20:45
Malam satu tahun lebih satu bulan
Perubahan tak mendekat
Jauh dari keinginan

Pinta impian hanya tidur Tak bangkit
Bisukah?
Tulikah?
Butakah?

Tergeletak kenistaan
Terserak kepedihan
Tercecer butir-butir mutiara mata

Tolakan hati ingini
Pekikan jiwa meminta
Daya tak kuasa
Tahankan gelombangnya

Lemah
Merintih
Mati