Kemana aku pergi, semua orang selalu bertanya
tentang Ela. "Dimana Ela? Kenapa kalian tidak bersama? Kalian sedang
bertengkar ya! Pasti kamu yang memulai pertengkaran itu! Kamu pasti iri
dengan Ela!" celoteh itu yang terdengar saat ku berjalan menuju sekolah.
Dua minggu lalu, Ela pergi ke Jakarta. Dia terpilih menjadi perwakilan
sekolah untuk mengikuti olimpiade Matematika. Sejak itu aku berjalan
sendiri menuju sekolah dan sejak itu pula tetanggaku bertanya tentang
Ela.
Seorang Ela yang cantik, pintar, ramah, tutur katanya yang
lembut pasti membuat orang-orang mengagumi dan merinduinya. Ela dan aku
sangat berbeda. Bagai batu dan emas.
"Tapi, aku beruntung. Dua
minggu ini, aku bebas di rumah. Tanpa ada gangguan dan bandingan dari
Mama dan Papa. Kalau ada dia, pasti aku selalu dibanding-bandingkan.
Hore. Aku bebas. Aku bebas. Sik asik". Tawaku dalam hati.
"Esa. Esa. Bangun sa". Teriak Mama.
"Iya ma. Esa uda bangun kok. Selamat pagi Mama. Selamat pagi Papa. Pagi
yang indah ya ma. Tanpa ada Ela di rumah ini. Upz.. Keceplosan".
"Esa. Kamu gak boleh ngomong gitu. Ela kan cuma pergi sebentar.
Seharusnya kamu berusaha juga supaya kamu bisa seperti kakakmu".
"Enggak ah. Esa gak suka Matematika. Esa tu lebih suka dengan sastra, tulis puisi gitu ma".
"Alah, gaya kamu suka sastra. Tapi karya kamu gak pernah tembus di media". Ledek Papa.
"Yah papa. Gak sembarang karya juga pa bisa tembus media".
"Tapi belum pernah kan sayang".
"Hmmp. Esa mandi dulu ah. Malas dibandingin mulu".
***
Olimpiade telah berakhir, Ela kembali ke rumah dengan membawa sebuah
piala yang bertuliskan "Juara I Olimpiade Matematika Nasional". Papa dan
Mama mengucapkan selamat kepada Ela.
"Selamat ya sayang. Lihat tu kakakmu sa, dia bisa mengalahkan seluruh siswa di Indonesia." Ledek Mama.
"Hmmp". Pergi meninggalkan mereka.
"Mulai lagi Mama dan Papa bandingin aku dengan si Ela kunyuk itu. Kayak gitu aja dibanggain, ieuhc." Tulisku di sebuah Diary.
Diary ini yang selalu membantuku untuk menenangkan diri ini dari
kekecewaan. Diary ini pula yang menerima bantahanku dan amarahku. Aku
juga selalu menulis puisi-puisi sebagai pelampiasan kekecewaan. Tulis
menulis adalah salah satu hobiku. Aku selalu mengirim karyaku ke media.
Walau karyaku tak pernah diterbitkan. Tapi aku tak akan putus asa. Aku
selalu berusaha untuk menunjukkan semuanya kepada Mama dan Papa kalau
aku juga bisa.
***
Emangnya karya kamu pernah tembus ke media?
Seharusnya kamu berusaha juga supaya kamu bisa seperti kakakmu. Papa dan
Mama benar, kenapa untuk tembus ke media aja aku susah. Kenapa si Ela
bisa. Sentakan kayu itu membuyarkan semua lamunanku.
"ee..saa. Maju ke depan. Kerjakan soal itu".
"ii..ya buk".
"Bagaimana ini? Aku sangat benci dengan pelajaran ini. Angka-angka
menakutkan ini mengelilingi otakku 50 2 7 5 : = x 107.077. Aduh".
Pikirku.
"Maaf buk. Bolehkah saya membantu Esa mengerjakan soal itu. Mungkin Esa lupa dengan rumusnya buk". Pinta Ela.
"Baik. Esa, silahkan duduk. Lain kali jangan melamun". Kata bu guru.
"iya buk". Jawabku.
"Ieh. Sok pintar kali si Ela. Cari muka. Dia pikir dengan cara itu, dia bisa dekat denganku". Keluhku.
Lonceng berbunyi. Siswa-siswa berhamburan keluar. Termasuk aku dan
Ela. Kami memang selalu pulang bersama. Tapi aku tak akan mau berbicara
dengannya kalau bukan dia yang memulainya.
"Esa. Maaf ya. Aku bukan bermaksud untuk cari muka. Aku cuma ingin bantu Esa". Kata Ela dengan rasa bersalah.
"Hmmf". Singkatku.
"Sa. Mau es krim gak? Ela yang traktir deh. Mau ya. Tunggu ya!"
"Ni. Esa suka rasa Strawberry kan".
"Aku gak butuh sogokan kamu (membuang es krim itu). Aku tau kamu orang
pintar, dikagumi oleh banyak orang. Tapi kenapa kamu permaluin aku di
depan teman-teman. Kamu belum puas dengan prestasi yang kamu raih sampai
kamu kayak gituin aku. Tega kamu ya la lakuin itu. Aku uda sering
dibandingin sama Mama dan Papa. Aku tetap sabar. Karena mereka keluarga
kita. Tapi kesabaran orang ada batasnya La. Aku malu EELA. Apa kamu
merasakan apa yang kurasa? Kamu jahat La. Dasar pencari MUKA!". Pergi
meninggalkannya dengan wajah yang memerah.
***
"Esa, di mana Ela? Kamu tidak pulang dengannya"?
"Kenapa mama bertanya tentang Ela dan Ela selalu? Apa mama lupa anak
mama ada dua, Ela dan Esa. Oh iya, Esa lupa. Ela kan anak kesayangan
mama". Pergi meninggalkan mama.
"Esaa". Teriak mama.
Tiba-tiba bahu mama disentuh oleh seorang lelaki separuh baya.
"Maaf bu. Apa benar ini rumahnya Ela Silvina Bachri"?
"Benar pak. Ada apa ya pak"?
"Anak ibu kecelakaan dan telah dibawa ke rumah sakit. Ini alamatnya buk". Menyerahkan selembar kertas.
***
Lima jam telah berlalu, namun Ela tak kunjung bangun dari pingsannya.
Kecelakaan siang tadi, membuat kepala Ela terbentur batu. Sembilan
menit setelah lima jam. Akhirnya Ela sadar. Namun, dia selalu menyebut
namaku. Saat itu aku tak datang melihatnya. Aku masih marah dengannya.
Namun perasaanku bercampur aduk antara kecewa karena telah marah dengan
Ela dan sedih mendengar keadaannya yang tetap memanggilku. Apa mungkin
Ela hanya membantuku tanpa ingin mendapat pujian. Tapi tidak! Ela salah,
dia telah mempermalukan aku di depan teman-teman. Tapi karena aku marah
dengannya, dia jadi kecelakaan. Aduh. Semuanya pasti salahku. Maafkan
aku Ela.
Akhirnya aku pun pergi ke rumah sakit. Aku ragu ingin
masuk ke ruangan di mana Ela dirawat. Tapi aku harus minta maaf
dengannya. Aku harus minta maaf.
“Selamat malam semua.” Sapaku.
“Akhirnya kamu datang juga. Dari tadi Ela memanggil namamu.” Kata Mama.
“M..Maafin Aku ya La. Aku uda berfikir buruk tentangmu.” Peluk Esa.
“Iya. Maafin Ela juga ya.”
***
“Selamat ulang tahun. Selamat ulang tahun. Selamat hari ulang tahun. Selamat ulang tahun.” Teriak dari ruang kamar Esa.
Tepat pukul 00.00 keluargaku berkumpul di kamarku. Ada Mama, Papa, Kak
Ela dan Black Forest di tangannya. Mereka menyayikan lagu itu berulang
kali. Aku sangat terkejut. Aku terbangun dari tidur dan memeluk mereka.
“Tiup lilinnya, potong kuenya, makan kuenya.” Teriak mereka
“Terima kasih ya Ma, Pa, Kakakku.” Ucapku.
“Sama-sama sayang.”
“Ni kado dari kakak. Buka dong.”
“Apa ni kak.” Tanyaku.
“Buka aja dech.”
“Wah. Celengan bebek warna kuning. Makasih ya kakakku.”
Tak PenTing taPi bErniLai
BiO ChErrY
Sabtu, 12 Mei 2012
Rabu, 09 Mei 2012
Analisis Puisi Chairil Anwar
PENERIMAAN
Jika kau mau,
kuterima kau kembali
Dengan sepenuh
hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan
yang dulu lagi
Bak kembang sari
sudah terbagi
Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani
Jika kau mau,
kuterima kembali
Tapi untukku
sendiri
Sedang dengan
cermin aku enggan berbagi.
Maret
1943
ANALISIS PUISI
Chairil Anwar: Penerimaan
PUISI terlahir dari
setiap makna yang tersembunyi dalam setiap kata-kata yang terangkai di
dalamnya. Dalam memahami makna puisi tidaklah dengan tiba-tiba melainkan melalui
proses yang panjang. Dalam melihat karya sastra, makna tersebut akan muncul
ketika pembaca telah memberikan makna pada karya sastra itu. Puisi
sebagai karya seni puitis, mengandung nilai keindahan yang khusus. Kepuitisan
itu dapat dicapai dengan bermacam-macam cara, misalnya dengan bentuk visual:
tipografi, susunan bait; dengan bunyi: persajakan, asonansi, aliterasi, kiasan
bunyi, lambang rasa, dan orkestrasi; dengan pemilihan kata (diksi), bahasa
kiasan, sarana retorika, unsur-unsur ketatabahasaan, gaya bahasa, dan sebagainya. Dalam mencapai
kepuitisan itu penyair memepergunakan banyak cara sekaligus, secara bersamaan
untuk mendapatkan jaringan efek puitis yang sebanyak-banyaknya (Altenbernd,
1970:4-5), yang lebih besar daripada pengaruh beberapa komponen secara terpisah
penggunaannya. Antara unsur pernyataan (ekspresi), sarana kepuitisan, yang satu
dengan lainnya saling membantu, saling memperkuat dengan kesejajarannya ataupun
pertentangannya, semuanya itu untuk mendapatkan kepuitisan seefektif mungkin,
seintensif mungkin.
Di Indonesia
setelah runtuhnya penjajahan Belanda tidak hanya terjadi revolusi politik yang
menjelma dalam kemerdekaan Negara Indonesia, tetapi terjadi pula
revolusi sastra, yang dilambangkan dan dirintis oleh Chairil Anwar. Beliau adalah seorang penyair
terkemuka di Indonesia
periode 1942-1949. Karya-karyanya sangat mewarnai khasanah kesusasteraan Indonesia dan mengilhami lahirnya sastrawan
besar di Indonesia
generasi berikutnya, hingga ia dinobatkan sebagai sastrawan pelopor angkatan 45
oleh HB Jasin. Sosok Chairil Anwar dapat dianalogikan sebagai seekor burung
yang bebas, merdeka baik dalam berkarya maupun dalam keseharian. Beliau adalah
sosok yang luar biasa, romantis namun memiliki semangat hidup yang
menyala-nyala, sebentuk optimisme anak muda yang yakin sepenuhnya pada potensi
dirinya sendiri. Beliau menciptakan puisi-puisi tentang kemerdekaan, maut yang
selalu menggeluti pikirannya maupun
tentang cinta yang pedih.
Namun penulis
memilih untuk menganalisis sajak Chairil Anwar yang bertemakan percintaan. Hal
itu karena penulis merasa tertarik dengan puisi bertemakan percintaan dan juga
dikarenakan tidak banyaknya orang yang menganalisis puisinya tersebut. Sejauh
ini, kebanyakan kritikus menganalisis puisinya mengenai kematian. Salah satu
puisinya adalah “Penantian”.
Pada
prinsipnya seorang kritikus sajak memulai mengkritik dan mengungkap sajak
dimulai dari mana saja. Namun sebuah sajak yang baik merupakan sebuah kebulatan
dan kepaduan makna dimana unsur-unsurnya berkaitan satu dengan yang lainnya.
Dalam hal ini penulis mulai dengan pilihan kata (diksi) puisi ini. Kata-kata
di dalam sajak adalah kata-kata yang sama sekali berbeda dengan teks dalam
bentuk yang lain. Kata-kata dalam sajak memiliki peran sangat esensial karena
ia tidak saja harus mampu menyampaikan gagasan, tetapi juga dituntut untuk
mampu menggambarkan imaji sang penyair dan memberikan impresi ke dalam diri
pembacanya, karena itu kata-kata dalam puisi lebih mengutamakan intuisi,
imajinasi, dan sintesis. Pilihan kata yng digunakan seorang Chairil Anwar
sangat indah, karena kata-kata yang digunakan menggunakan kata-kata yang mudah
dipahami misalnya dalam sajak yang berjudul “Penerimaan”. Selain itu penyusunan
kata-katanya sangat tepat dan pemilihan untuk pembentukan sebuah sajak
memperhatikan kesesuaiaan kata yang digunakan serta penyusunan antar kata
sangat indah.
Untuk melihat
keindahan dan kepuitisan puisi ini dapat dilihat dari bahasa kiasan yang
digunakan penyair. Bahasa kiasan merupakan alat yang dipergunakan penyair untuk
mencapai aspek kepuitisan atau sebuah kata yang mempunyai arti secara konotatif
tidak secara sebenarnya. Dalam penulisan sebuah sajak bahasa kiasan ini
digunakan untuk memperindah tampilan atau bentuk muka dari sebuah sajak. Bahasa
kiasan dipergunakan untuk memperindah sajak-sajak yang ditulis seorang penyair.
Bahasa kiasan yang tedapat dalam puisi “Penerimaan” karya Chairil Anwar berupa repitisi, simile atau persamaan dan
personifikasi. Repetisi adalah pengulangan bunyi, suku kata, kata, atau
bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks
yang sesuai. Dalam sajak terdapat dalam:
Jika kau mau, ku terima kau kembali (Baris 1)
...
Jika kau mau, kuterima kembali (Baris 7)
...
Perulangan tersebut dapat dilihat dari penggalan larik
puisi di atas. Selanjutnya simile atau persamaan adalah perbandingan yang
bersifat eksplisit, yaitu langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal lain.
Dalam sajak terdapat dalam:
..
Bak kembang sari sudah terbagi (Baris 5)
...
Personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda
mati seolah-olah hidup. Hal itu terdapat dalam penggalan sajak di bawah ini:
...
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.
Dari penggalan sajak di atas sangat terlihat penghidupan
benda mati yaitu cermin bisa berbagi dengan tokoh aku.
Selanjutnya
mengenai citraan pada puisi ini. Citraan
adalah satuan ungkapan yang dapat menimbulkan hadirnya kesan keindrawian atau
kesan mental tertentu. Unsur citraan dalam sebuah puisi merupakan unsur yang
sangat penting dalam mengembangkan keutuhan puisi, sebab melaluinya kita
menemukan atau dihadapkan pada sesuatu yang tampak konkret yang dapat membantu
kita dalam menginterpretasikan dan menghayati sebuah puisi secara menyeluruh
dan tuntas. Citraan
dalam puisi terdapat 7 jenis citraan, yaitu citraan penglihatan, citraan
pendengaran, citraan gerak, citraan perabaan, citraan penciuman, citraan
pencecapan, dan citraan suhu. Penggunaan citraan dalam puisi melibatkan hampir
semua anggota tubuh kita, baik alat indra maupun anggota tubuh, seperti kepala,
tangan, dan kaki. Untuk dapat menemukan sumber citraan yang terdapat dalam
puisi, pembaca harus memahami puisi dengan melibatkan alat indra dan anggota
tubuh untuk dapat menemukan kata-kata yang berkaitan dengan citraan. Dalam
sajak “Penerimaan” citraan yang digunakan misalnya yaitu citraan penglihatan
tedapat dalam”aku msih tetap sendiri, sedangkan dengan cermin aku enggan
berbagi. Cermin dapat dilihat dengan indera mata sehingga menggunakan citraan
penglihatan.
Setelah penulis memulai penganalisisan
berdasarkan unsur-unsur puisi, selanjutnya akan dijelaskan makna puisi “Penerimaan”
secara keseluruhan. Dalam sajak”Penerimaan” karya Chairil Anwar merupakan
ungkapan perasaan yang dirasakan oleh penyair. Puisi itu dapat dianalisis
sebagai berikut: si aku memberi harapan kepada seorang gadis, bila ingin
kembali boleh saja. Si aku menerima sepenuh hati bila gadis itu mau kembali
lagi pada kehidupannya. Si aku tidak mencari gadis lain sebagai pendamping
hidupnya karena masih menunggu kepulangan kekasihnya. Si aku masih sendiri
tidak akan mencari yang lain dan tetap menunggu walaupun sudah mengetahui bahwa
gadis yang dicintainya sudah tidak perawan lagi atau sudah selingkuh dengan
laki-laki lain. Itu digambarkan dengan kalimat ”Kutahu kau bukan yang dulu lagi bak kembang sari sudah terbagi”.
Kalimat ini menggunakan metafora-metafora yang sangat indah dangan
menggambarkan perempuan yang tidak perawan dengan kembang sari sudah terbagi.
Si aku memberi harapan kepada gadis itu, bila ingin kembali tidak usah malu dan
harus mau menemunya. Tidak usah takut untuk menemuinya. Si aku pun tetap
menerima apapun yang sudah terjadi dan menerima dengan mutlak: jangan mendua
lagi, bahkan bercermin pun si aku enggan berbagi. Digambarkan dalam bait ke-5 yan
berbunyi “Sedangkan dengan cermin aku enggan berbagi”. Dalam kalimat ini
menggunakan citraan penglihatan seperti yang telah dijelaskan di atas.
Langganan:
Postingan (Atom)