Tak PenTing taPi bErniLai

Tak PenTing taPi bErniLai
TerbiaSa mendokuMentasikan suaTu peRistiWa walau taK beGitu pEntiing taPi bernilai :D

BiO ChErrY

Foto saya
I always give my beautiful smile to all.. n_n

Jumat, 19 Oktober 2012

MIRA



Oleh: Suryani Hanum Sidabutar
            Beranjak dari kegelisahan yang sudah menjelma sekuat raksasa, aku mendayung jiwa ketempat dingin. Terpatung. Terlintas difikiranku untuk melakukan hal itu. Sekejap aku menangkisnya. Aku kasihan melihat mereka yang menyayangiku. Terpatung. Kembali hal itu terlintas. Aku menjerit. “Aku tidak bisa! Aku tidak bisa! Apa yang harus aku perbuat? Semua orang pasti akan membenciku kalau mereka tahu aku...” Tak sengaja air mataku jatuh. Tangisan pertama yang pernah ada.
            Petang itu langit mulai gelap, petir seruh menderuh. Hujan pun turun membasahi tubuhku. Aku tetap terpatung. Tak beranjak dari dudukku. Menangis, menggigil, wajah pucat, bibir biru. Hal itu tetap saja menghantui fikiranku. Tiba-tiba dari belakang tampak seorang pria tinggi, hitam pekat menyentuh pundakku dan berkata:
“Mengapa kau disini? Hujan semakin deras. Beranjaklah dari sini dan ikutlah denganku.”
Dengan cepat aku berdiri bak orang yang terkena hipnotis. Aku berjalan disampingnya dengan tubuh yang tetap kedinginan.
            Lima belas menit sudah kami berjalan. Terhentilah kami di sebuah kafe. Dia memesan dua cangkir teh panas.
“Apa yang kau lakukan di sana?” tanyanya.
 Aku terdiam.
“Ya sudahlah. Tenangkanlah dulu fikiranmu kalau kau tak mau cerita sekarang. Minumlah teh itu, nanti keburu dingin.”
Aku tetap saja tak menghiraukannya. Aku masih terhanyut dalam lamunanku.
“Hey. Kau dengar tidak.”
Tepukan meja itu membuatku tersentak dari lamunanku. Kali kedua air mataku jatuh.
“Kalau kau tak mau bercerita tak apa, tapi hargailah aku bicara jangan hanya diam saja. Apa yang kau fikirkan? Sepertinya ada hal yang kau tutup-tutupi dariku?”
Dia sangat marah. Tapi aku tidak bisa menceritakan hal ini, aku takut kakak akan semakin marah dan sedih dengan hal ini, pikirku.
“Mira tidak memikirkan apa-apa kak.”
“Tidak mungkin. Pastilah ada hal yang membuat kau diam seperti ini. Sudah seminggu aku melihat kau hanya diam menyendiri. Dan baru hari ini juga aku melihat kau menangis. Apa yang kau sembunyikan? Ceritalah kepadaku?”
Aku tetap saja membisu.
“Hufft. Capek aku berbicara tapi tak kau hiraukan”. Dengan raut wajah yang cemberut dan membalikkan badan.
“Kenapa kakak berada di taman itu?” Tanyaku.
Dia diam. Sepertinya dia balas dendam padaku.
“Mira bicara kakak malah diam. Kakak yang aneh.” Ledekku sambil tersenyum kecil.
“Begitu lha. Tersenyum lagi, kan tampak manis walaupun nyatanya tidak. Haha.”
“Hmmp. Kakak mengerjaiku ya.”
Seperti itulah kakakku yang selalu membuat aku tersenyum. Tapi saat ini hanya senyuman terpaksa yang bisa ku keluarkan.
“Hmmp. Kau melamun lagi. Aku berada di taman, ibu menyuruhku mencarimu karena kau tak pulang sejak siang tadi. Aku melihat kau duduk di sana dan menghampirimu. Cepatlah minum teh itu. Lalu kita pulang, ibu sangat khawatir kepadamu.”
“Iya kak”.
Kami pun pulang ke gubuk yang tak seberapa itu. Tetap saja hal itu kusembunyikan.
Ibu berdiri di depan pintu. Sepertinya sudah menungguku sejak tadi.
“Darimana saja ra? Ibu khawatir sekali. Ayo masuk. Mandi dan temui ibu nanti di ruang tamu. Ada yang mau ibu bicarakan kepadamu.” Katanya.
“Iya bu.” Jawabku singkat.
            Seandainya ibu mengetahui hal ini, dia pasti akan sangat marah. Maafkan Mira bu, Mira tak akan mengatakan hal ini. Mira takut ibu akan sedih dan marah dengan semua yang telah mira perbuat. Kali ketiga air mata ini jatuh. Aku tak sanggup selalu berbohong dan aku juga tak sanggup mengatakan yang sebenarnya. Ya tuhan bagaimana ini? Kegelisahan ini terus mengepungku. Ini kali aku harus mengatakannya walau ini sangat menyakitkan.
            Ponselku berbunyi, layar ponsel itu tertulis satu pesan diterima. Pesan dari panji. Aku membacanya. Debar-mendebar jantung ini. Darah terasa terhenti. Timbul niat dalam kalbuku tidak jadi mengatakannya. Ambil tas pergi menemuinya.
            Sampai di rumah kos panji. “Aku telah berniat untuk mengatakan kehinaanku pada ibu hari ini. Tapi kenapa kau menyuruhku untuk melakukannya lagi. Aku sudah capek dengan semua kebohongan ini. Kegelisahan yang selalu menyelimuti. Mengertilah panji!”
“Tenang Mira. Kalau kau mengatakannya pada ibumu kasihan dia. Dia akan sangat sedih. Lebih baik kau tidak mengatakannya. Kau lanjutkan saja, inilah hidupmu. Tidak usah pikirkan yang tak perlu difikirkan. Aku kasihan denganmu terlalu memikirkan hal ini. Ayolah santai. Nanti malam kau dapat job dengan seorang pengusaha kaya raya. Jadi kau tidak perlu sedih memikirkan semua perbuatan dan kebutuhan keluargamu. Bagaimana kau terima tidak pekerjaan ini? Aku harap kau menerimanya”
            Bingung. Di satu sisi aku sangat butuh pekerjaan ini. Tetapi di sisi lain aku tersiksa dengan kebohonganku. Aku mengatakan pada ibu, aku bekerja di sebuah perusahaan ternama di Jakarta. Tapi nyatanya aku hanya seorang wanita murahan, hina dan liar. Hal gila dan benar-benar gila. Lama aku berfikir. Akhirnya aku memutuskan dan berkata:
“Ya. Aku menerimanya. Seperti yang kau katakan inilah hidupku.”
“Wah. Hebat aku suka Mira yang ini. Oke kau harus istirahat agar malam ini kau maksimal. Sampai bertemu di waktu gelap. Haha. Jawabnya.”